Sabtu, 10 November 2012

ASURANSI DAN BANK





BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Jiwa seseorang dapat diasuransikan untuk keperluan orang yang berkepentingan, baik untuk selama hidupnya maupun untuk waktu yang ditentukan dalam perjanjian. Orang yang berkepentingan dapat mengadakan asuransi itu bahkan tanpa diketahui atau persetujuan orang yang diasuransikan jiwanya.
Jadi setiap orang dapat mengasuransikan jiwanya, asuransi jiwa bahkan dapat diadakan untuk kepentingan pihak ketiga. Asuransi jiwa dapat diadakan selama hidup atau selama jangka waktu tertentu yang dtetapkan dalam perjanjian.
Pihak-pihak yang mengikatkan diri secara timbal balik itu disebut penanggung dan tertanggung. Penanggung dengan menerima premi memberikan pembayaran, tanpa menyebutkan kepada orang yang ditunjuk sebagai penikmatnya.
Begitupun dengan Bank merupakan hasil perkembangan cara-cara penyimpanan harta benda. Para saudagar merasa khawatir membawa perhiasan dan yang lain-lainnya dari suatu tempat ke tempat lainnya karena di pelabuahan dan tempat-tempat yang lain banyak pencuri. Maka, bank merupakan aternatif yang terdapat untuk menitipkan barang-barang yang berharga, karena bank dapat dipercaya dan dapat menjaga harta dengan kekuatan tenaga. Dengan demikian berdirilah bank-bank dengan cara-caranya. Bank memberikan jaminan kepada penyimpan dan penyimpan dapat pula mengunakan simpanannya denagan mengunakan cheque, wesel, dan surat-surat lainnya.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas dapat ditarik rumusan masalah, diantaranya:
  1. Apa Pegertian Asuransi dan Bunga Bank ?
  2. Bagaimana Hukumnya Asuransi dan Bunga Bank Menurut Syariat Islam ?

BAB II
PEMBAHASAN

A. ASURANSI

I.       Pengertian
Menurut pasal 246 Watboek zan Koophandel, (kitab Undang-undang Perniagaan) bahwa yang dimaksud dengan asuransi adalah suatu persetuan di mana pihak yang meminjam berjanji kepada pihak yang dijamin untuk menerima sejumlah uang premi sebagai peganti kerugian, yang mungkin akan diderita oleh yang dijamin karena akibat dari suatu peristiwa yang belum jelas akan terjadi.[1]
Menurut Fuad Mohd. Fachruddin yang dimaksud dengan asuransi adalah suatu perjanjian-peruntungan.[2] Sebelumnya beliau menjelaskan definisi asuransi menurut Kitab Undang-Undang perniagaan pasal 246.

II.    Macam-Macam Asuransi
Asuransi yang terdapat pada negara-negara di  dunia ini bermacam-macam. Hal ini terjadi karena bermacam-macam pula sesuatu yang diasuransikan. Untuk lebih jelasnya , berikut ini macam-macam asuransi itu.
a.       Asuransi timbal balik
maksud asuransi timbal balik adalah beberapa orang memberikan iuran tertentu yang dikumpulkan dengan maksud meringankan atau melepaskan beban seseorang dari mereka saat mendapat kecelakaan. Jika uang yang dikumpulkan tersebut telah habis, dipungut lagi iura yang baru untuk persiapan selanjutnya, demikian seterusnya.
b. Asuransi Dagang
asuransi dagang adalah beberapa manusia yang senasib bermufakat dala mengadakan pertanggungjawaban bersama untuk memikul kerugian yang menimpa salah seorang anggota mereka. Apababila timbul kecelakaan yang merugikan salah seorang anggota kelompok yang telah berjanji itu, seluruh orang yang tergabung dalam perjanjian tersdebut memikul beban kerugian itu dengan cara memungut derma (iuran) yang telah ditetapkan atas dasar kerja sama untuk meringankan teman semasyarakat.[3]
c. Asuransi Pemerintah
asuransi pemerintah adalah menjamin pembayaran harga kerugian kepada siapa saja yang menderita diwaktu terjadinya suatu kejadian yang merugiakan tanpa mempertimbangkan keuntungannya, bahkan pemerintahan menaggung kekurangan yang ada karena uang yang dipungut sebagai iuran dan asuransi lebih kecil daripada harga pembayaran kerugian yang harus diberikan kepada penderita diwatu kerugian itu terjadi. Asuransi pemerintah dilakukan secara oblligator atau paksaan dan dilakukan oleh badan-badan yang telah ditentukan untuk masing-masing keperluan.[4]

d. Asuransi jiwa
Maksud asuransi jiwa adalah asuransi atas jiwa orang-orang yang mempertanggungkan atas jiwa oranglain, penanggung (asurador) berjanji akan membayar sejumlah uang kepada orang yang disebutkan namanya dalam polis apabila yang mempertanggungkan (yang ditanggung) meninggal dunia atau sesudah melewati masa-masa tertentu.[5]

e. Asuransi atas Bahaya Yang Menimpa Badan
asuransi atas bahaya yang menimpa badan adalah asuransi dengan keadaan-keadaan tertentu pada asuransi jiwa atas kerusakan-kerusakan diri seseorang, seperti asuransi mata, asuransi telinga, asuransi tangan, atau asuransi atas penyakit-penyakit tertentu. Asuransi ini banyak dilakukan oleh buruh-buruh industri yang menghadapi bermacam-macam kecelakaan dalam meninaikan tugasnya.[6]

f. Asuransi Terhadap Bahaya-bahaya Pertanggungjawaban sipil
Maksud asuransi terhadap bahaya-bahaya pertanggungjawaban sipil adalah asuransi yang diadakan terhadap benda-benda, seperti asuransi rumah, perusahaan, mobil, kapal udara, kapal laut motor, dan yang lainnya. Di RPA asuransi mengenai mobil dipaksaan.[7]

III. Pendapat Ulama Tentang Asuransi
Masalah asuransi dalam pandangan ajaran Islam termasuk masalah ijtihadiyah, artinya hukumnya perlu dikaji sedalam mungkin karena tidak dijelaskan leh Alquran dan Al-Sunnah secara eksplisit. Para imam mujtahid seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal dan para mujtahid yang semasa dengannya tidak memberikan fatwa mengenai asuransi karena pada masanya asuransi belum dikenal. Sistem asuransi baru dikenal di dunia Timur pada abad XIX Masehi. Dunia Barat sudah mengenal sistem asuransi ini sejak abad XIV Masehi, sedangkan para ulama mujtahid besar hidup pada sekitar abad II s.d IX Masehi.
            Di kalangan ulama atau cendekiawan Muslim terhadap empat pendapat tentang hukum asuransi, yaitu:
a.       mengharamkan asuransi dalam segala macam dan bentuknya seperti sekarang ini, termasuk asuransi jiwa, klmpok ini antara lain  antara lain Sayyid Sabiq yang diungkap dalam kitabnya Fiqh al-Sunnah, Abdullah al-Qalqili, Muhammad Yusuf al-Qardhawi, dan Muhammad Bakhit al-Muth’i, alasannya antara lain:
·         asuransi pada hakikatnya sama dengan judi;
·         mengandung nsur tidak jelas dan tidak pasti;
·         mengandung unsur riba/rente;
·         mengandung unsur eksploitasi karena apabila pemegang polis tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya yang telah dibayarkan;
·         premi-premi yang telah dibayarkan oleh para pemegang poils diputar dalam praktik riba (karena uang tersebut dikreditkan dan dibungakan);
·         asuransi termasuk akad sharfi, artinya jual beli atau tukar-menukur mata uang tidak dengan uang tunai;
·         hidup dan matinya manusia dijadikan objek bisnis, yang berarti mendahului takdir Tuhan Yang Maha Esa.[8]
b.   Membolehkan semua asuransi dalam praktiknya dewasa ini.
Pendapat ini dikemukakan oleh Abdul Wahab Khalaf, Mustafa Ahmad Zarqa, Muhammad Yusuf Musa dan alasan-alasan yang dikemukakan sebagai berikut:
·         tidak ada nash Alquran maupun nash al-Hadis yang melarang asuransi;
·         kedua pihak yang berjanji (asuradatordan yang mempertanggungkan) dengan penuh kerelaan menerima oprasi ini dilakukan dengan memikultanggung jawab masing-masing;
·         asuransi tidak merugikan salah satu atau kedua belah pihak dan bahkan asuransi menguntungkan kedua belah pihak;
·         asuransi mengandung kepentingan umum, sebab premi-premi yang terkemul dapat diinvestasikan (disalurkan kembali untuk dijadikan modal) untuk proyek-proyek yang priduktif dan untuk pembangunan;
·         asuransi termasuk akad mudharabah, maksudnya asuransi merupakan akad kerja sama bagi hasil antara pemegang polis (pemilik modal) dengan pihak perusahaan asuransi yang mengatur modal atas dasar bagi hasil (profit and loss sharing);
·         operasi asuransi dilakukan untuk kemaslahatan umum dan kepentingan bersama;
·         asuransi menjaga banyak manusia dari kecelakaan harta benda, kekayaan, dan keperibadian.

Dengan alasan-alasan yang demikian, asuransi dianggap membawa manfaat bagi pesertanya dan perusahaan asuransi secara bersamaan. Praktik atau tindakan yang dapat mendatangkan kemaslahatan orang banyak dibenarkan oleh agama.[9]
Lebih jauh Fuad Mohammad Fachrudin menjelaskan bahwa asuransi sosisal, seperti asuransi kesehatan dan asuransi kecelakaan, diakibatkan oleh pekerjaan. Negara melakukannya terhadap setiap orang yang membayar iuran premi yang ditentukan untuk itu, negara pula yang memenuhi kekurangan yang terdapat dalam perbedaan uang yang telah dipungut dengan uang pembayar kerugian. Maka asuransi ini menuju kearah kemaslahatan umum yang bersifat sosial. Oleh karena itu , asuransi ini dibenarkan oleh agama Islam.
      Asuransi terhadap kecelakaan, jika asuransinya tergolong kepada asuransi campur (asuransi yang di dalamnya termasuk penabungan). Hakikat asuransi campur mencakup dua premi, yaitu ubntuk menutup  bahaya kematian dan untuk menyiapkan uang yang harus dibayar jika dia tidak meninggal dunia dalm jangka waktu yang telah ditentukan, maka hukumnya dibolehkan oleh agama Islam karena asuransicampur didalamnya terdapat dorongan untuk menabung dan penabungan itu untuk kemaslahatan umum. Syaratnya, perusahaan asuransi berjanji kepada para pemegang polis bahwa uang preminya tidak dikerjakan untuk pekerjaan-pekerjaan riba, hal ini sama dengan hhukm penabungan pada pos, adapun asuransi keclakaan yang diadakan (dilaksanakn) dengan asuransi biasa menurut Fuad Mohammad Fachruddin tidak dibolehkan, karena asuransi ini tidak menuju ke arah kemaslahatan umum dan kepentingan bersama.[10]

c. membolehkan asuransi yang bersifat sosial dan mengharamkan asuransi yang bersifat komersial semata.
            Pendapat ini dikemukakan oleh Muhamad Abu Zahrah. Alasan yang dapat digunakan untuk membolehkan asuransi yang berifat sosial sama dengan alasan pendapat kedua, sedangkan alasan penggharaman asuransi bersifat komersial semata-mata pada garis besarnya sama dengan alasan pendapat pertama.

d. Menganggap bahwa asuransi bersifat syubhat karena tidak ada dalil-dalil syar’i yang secara jelas mengharamkan ataupun secara jelas menghalalkannya. Apabila hukum asuransi dikatagorika syubhat, konsekuensinya adalah umat Islam dtuntut untuk berhati-hati (al-ihtiyath) dalam menghadapi asuransi. Umat Islam baru dibolehkan menjadi polis atau mendirikan perusahaan asuransi apabila dalam keadaan darurat.[11]

IV. Keputusan Konfrensi Negara-Negara Islam Sedunia Di Kualalumpur Mengenai Asuransi
Mengingat asuransi sudah terdapat dan berjalan di sebagian besar negara yang sebagian besar penduduknya beragama Islam maka negara-negara Islam sedunia  berkonfermasi dengan keputusan-keputusan sebagainberikut.
a.       Asuransi yang di dalamnya terdapat unsur riba dan eksploitasi adalah haram.
b.      Asuransi yang bersifat koperatif hukumnya halal:
·         Asuransi yang khusus untuk suatu usaha dapat dilakukan oleh manusia (sekumpul manusia) atas dasar koperatif;
·         Suatu asuransi yang tidak terbatas untuk sesuatu usaha dapat dilakukan oleh pemerintah;
·         Konferensi menganjurkan pemerintah-pemerintah Islam untuk mengadakan asurans yang bersifat koperatif antara negara-negara Islam.
Peserta-peserta asuransi ini membayar iuran berupa uang yang tidak boleh diambil kembali kecuali pada saat ia berhak menerimanya.
c. mengingat pentingnya perdagangan internasional, maka asuransi dalam lingkup internasional yang ada sekarang diangga halal, berdasarkan hukum darurat.[12]

B.  BANK
I.       Pengertian
Menurut Fuad Mohd Fachruddin,[13] bank berasal kata bangko ( Bahasa Italia), sedangkan menurut Yan Pramadyapuspa (t.t: 71) sebagai mana dikutip Mohd. Fchruddin, banyak berasal dari Bahasa Inggris atau Belanda yang berarti kantor penyimpanan uang. Bank adalah symbol bahwa para penukar uang (monez canger) meletakan uang penukaran di atas meja, meja ini dinamakan Banko zaitu bangku dalam Bahasa Indonesia. Jadi, kata Bank diambil dari  kata bankosebagai simbol ppenukaran uang di Italia.
            Fuad Mohd. Fachruddin[14] berpendapat bahwa yang dimaksud bank menurut istilah adalah perusahaan yang meperdagangkan utang-piutang, baik yang berupa uangnya sendiri maupun uang orang lain.
            Masifuk zhudi[15] berpendapat bahwa zang dimaksud dengan bank non Islam adalah sebuah lembaga keuangan yang pungsi utamanya untuk menghimpun dana yang kemudian disalurkan kepada orang ataw lembaga yang membutuhkannya guna inventasi (penanaman modal) dalam usaha-usaha yang produkti dengan sistem bunga.

II. Sejarah Pendirian Bank
            Bank merupakan hasil perkembangan cara-cara penyimpanan harta benda. Para saudagar merasa khawatir membawa perhiasan dan yang lain-lainnya dari suatu tempat ke tempat lainnya karena di pelabuahan dan tempat-tempat yang lain banyak pencuri. Maka, bank merupakan aternatif yang terdapat untuk menitipkan barang-barang yang berharga, karena bank dapat dipercaya dan dapat menjaga harta dengan kekuatan tenaga. Dengan demikian berdirilah bank-bank dengan cara-caranya. Bank memberikan jaminan kepada penyimpan dan penyimpan dapat pula mengunakan simpanannya denagan mengunakan cheque, wesel, dan surat-surat lainnya.
            Bank pertama berdiri di Venisia dan Geno di Italia, kira-kira abad ke-14.[16] kota-kota tersebut dikenal sebagai kota perdagangan. Dari kedua kota ini berpindahlah sistem bank ke Eropa barat. Di Inggris didirikan Bank of england pada tahun 1696.




III. Pendapat Ulama Tentang Bunga Bank
1. Pendapat yang Mengharamkan Bunga Bank
            Alasan-alasan bunga diharamkan menurut muhammad Neta-Jullah Siddiqi[17] adalah sebagai berikut :
  1. bunga bersifat menindas (dolim) yang menyangkut pemerasan. Dalam pinjaman konsumtif seharusnya yang lemah (kekurangan) di tolong oleh yang kuat (mampu) tetapi bunga bank pada awalnya orang lemah ditolong kemudian diharuskan membayar bunga, itu tidak titolong, tetapi memeras. Hal ini dapat dikatakan bahwa yang kuat menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Dalam pinjaman produktif dianggap pinjaman tidak adil, mengingat bunga yang harus dibyar sudah ditentukan dalam meminjam, sementara keuntungan dalam usaha belum pasti.
  2. Bunga memindahkan kekayaan dari orang miskin (lemah) kepada orang kaya (kuat) yang kemudian dapat menciptakan ketidakseimbanagan kekayaan. Ini bertentangan dengan kepentingan sosial dan berlawanan dengan kehendak Allah yang menghendaki pnyebaran pendapat dan kekayaan yang adil. Islam menganjurkan kerja sama dan persaudaraan dan bunga bertentangan dengan itu.
  3. Bunga dapat menciptakan kondisi manusia penganggur, yaitu para penanam modal dapat menerima  setumpukan kekayaan dari bunga-bunga modalnya sehingga nereka tidak bekerja untuk menutupi kebutuhannya. Cara seperti ini berbahaya bagi masyarakat juga bagi pribadi orang tersebut.

Muhammad abu zahrah menegaskan bahwa rente (bunga) bank termasuk Riba nas’iah yang diharamkan dalam agama Islam oleh Allan dan Rasul-Nya.
Anwar Iqbal Qureshi dalam buku Islam dan teori pembungaan uang[18], menegaskan bahwa beliau sepakat dengan pendapat Muhammad al-Fakhri yang menyatakan bahwa:
a.                Bunga pada dasarnya bertentangan dengan prinsip liberal Islam yang merupakan dasar pokok susunan masyarakat islam;
b.               Sanagat salah suatu pandangan yang mengatakan bahwa Islam tidak melarang bunga bias, tetapi hanya melarang bunga yang berlipat ganda. Sebetulnya dalam ajaran Islam setiap jenis bunga betapapun kecilnya dinyatakan terlarang;
c.                Sebagian masyarakat berpendapat bahwa bank menolong industri dan transaksi-transaksi dagang sehingga pemungutan bunga diijiankan pendapat ini ternyata keliru, yang jelas bunga bank sama dengan bunga yangdiambil oleh sahukar, yaitu seorang yahudi tua yang pekerjaannyamemberikan pinjaman uang dan mengambil bunganya;
d.               Untuk mencoba membenarkan bahwa bunga bank bertentangan dengan pandangan islam, maka kewajiban umat islam untuk mengemukakan perinsip-prinsip dasar ajaran islam yang berhubungan dengan hal itu dan bukan menyembunyikan kelemahan-kelemahan dengan cara membenarkan pengambilan bunga bank tersebut.
Alasan-alasan yang dikemukakan imam pachrudin razi tentang larangan pembungaan uang yang dikemukakan dalam kitabnya mafatih al-Ghoib atau terkenal dengan tafsir kabir,[19] adalah sebagai berikut:
  1. setiap perubahan atau penambahan disebut riba nasyiah dan riba nasyiah diharamkan oleh agama.
  2. Bunga memungkinkan seseorangmemaksakan pemilihan harta benda orang lain tanpa alasan-alasan yang diijinkan oleh aturan-aturan sehingga perampas tidak memperdulikan haka-hak orang lain.
  3. Secara nyata pengahasilan yang diterma dari bunga uang menghamabat pemberi utang untuk  berusaha memasuki suatu jaban atau pekerjaan dimasyarakat karna dia tidak berusahapun kebutuhan hidupnya sudah terpenuhi.
  4. Hutang selalu menurunkan harga diri dan kehormatan seseorang dimasyarakat. Apabila pembayaran ditambah dengan bunga, maka akan menghasilkan perasaan akan saling menghormati sfat-sifat yang baik dan perasaan berhutang budi.
  5. Apabila dalam transaksi pijam-memijam diijinkan pembungaan maka akan terjadi kesenjangan sosial, yakni yang meminjamkan akan semakin kaya dan yang meminjam akan semakin tercekik.
  6. Alasan terakhir bunga bank dilarang ialah karena bunga bank bertentangan dengan frinsif-prinsip ajaran Allah yang terdapat dalam Al-Quran dan Rasull-Nya. 

2. Pendapat yang Mensamarkan/Mensyubhatkan Bunga Bank
Ulama Muhammadiyah dalam mu’tamar Tarjih di Sidoarjo Jawa Timur pada tahun 1968 memutuskan bahwa bynga bank yang diberikan  oleh bank-bank milik negara  kepada para nasabahnya dan sebaliknya termasuk masalah musytabihat. Masalah musytabihat adalah perkara yang belum ditemukan kejelasan hukum halal atau haramnya, sebab mengandung unsur-unsur yang mungkin dapat disimpulkan sebagai perkara yang haram. Namun, ditinjau dari lain, ada pula unsur-unsur lain yang meringankan keharamannya. Di pihak lain bunga masih termasuk riba sebab merupakan tambahan dari pinjaman pokok. Meskipun tidak terlalu besar, tetapi disisi lain bunga yang relatif kecil itu bukan merupakan keuntungan perorangan, melainkan keuntungan yang digunakan untuk kepentingan umum. Pertimbangan besar kecilnya bunga dan segi penggunaannya dirasakan agak meringankan sifat larangn riba yang unsur utamanya adalah pemerasan dari orang-orang kaya terhadap orang-orang miskin meskipun bunga bank dianggap musytabihat tidak berarti umat Islam diberikan kebebasan untuk mengembangkan bunga. Nabi Saw. Memerintahkan umat Islam hati-hati terhadap perkara subhat dengan cara mejauhinya.[20]
            Menyimak pendapat Musthafa Ahmad al-zarqa dan ulama muhammadiyah di atas, kiranya dapat dipahami  bahwa umat Islam diperbolehkan bermuamalah dengan bank negara karna bunga juga kecil dan penggunaan keuntungan dari bank tersebut untuk kepntingan umum. Permasalahnnya ialah bagaimana dengan bank swasta, apakah boleh bermuamalah dengannya atau tidak. Musthafa Ahmad al-zarqa dan ulama Muhammadiyah menekankan segi darurat dan suku bunga yang relatif kecil. Bermuamalah dengan bank suasta dibolehkan, karena keadaan darurat dan bank swasta bunganya relatif sama dengan bank negara, akan tetapi, apabila yang ditekankan segi pengunaan,umat islam tiak boleh bermuamalah dengan bank swasta sebab keuntungan dari bunga bank negara digunakan untuk kepentingan umum, sedangkan pengunaan keuntungan dari bank swasta adalah hanya orang-orang tertentu, yaitu para penanam modal (saham) dan para pekerjanya.

3. Pendapat yang Menghalalkan Bunga Bank
            Pendapat yang ketiga adalah pendapat yang menghalalkan pengambilan atau pembayaran bunga di bank yang ada dewasa ini, baik bank negara maupun bank swasta. Pendapat ini dipelopori oleh A.Hassan yang juga dikenal dengan Hasan Bandung, meskipun sudah bertahun-tahun tingal di Pesantren Bngil (persis). Alasan yang digunakan adalah firman Allah Swt.
Artinya: Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda (Ali-imran: 130)

            Jadi, yang termasuk riba menurut A. Hassan adalah bunga yang berlipat ganda. Bila bunga hanya dua persen dari modal pinjaman itu, itu tidak berlipat ganda sehingga tidak termasuk riba yang diharamkan oleh agama Islam.[21]
            Pendapat A. Hasan ini dibantah oleh fuad mohd. Fachruddin dalam bukunya yang berjudul riba dalam bank, koperasi, perseroan dan asuransi.[22] Menurut fuad mohd. Fachruddin dalam surat al-imran ayat 130 dijelaskan riba yang berlipat ganda atau riba jahiliyah, sedangkan bunga tidak berlipat ganda. Hal ini tidak berarti bahwa bunga yang berlipat ganda itu boleh, adh’afah mudha’afah adalah sebagai qayid, mafhum mukhalafah ditolak apa biala ada qayid yang mengatakan suatu kejadian. Jadi, adh’afan mudha’afah adalah menjelaskan kejadian yang sedemikian hebatnya riba di Zaman Jahiliah.


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Azhar Basyir, Riba, Utang-piutang dan Gadai, PT. Al-Ma’arif, Bandung, 1983.
Fuad Mohammad Fachruddin, Riba dalam bank, Koperasi, Perseroan dan Asuransi. PT. Al-Ma’arif: Bandung, 1985.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqih Muamalah, Bulan Bintang, Jakarta, 1984.
Islam dan Teori Pembungaan Uang, Tintamas, Jakarta, 1985.
Masyfuk Zuhdi, Islam dan Keluarga Berencana di Indonesia, Bina Ilmu: Surabaya, 1986.
Masail Fiqhiyah, CV. Haji Masagung, Jakarta, 1988.
Muh. Nejatullah Shiddiqi, Asuransi dalam Islam, (Pustaka: Bandung, 1987).
Pemikiran Ekonomi Islam, alih bahasa A.M. Saefuddin, LIPPM, Jakarta, 1986.
Sulaiman, Thahir Abdul Muhsin. Menaggulangi Krisis Ekonomi secara islam, alih basa oleh , Anshari Umar Sitanggal. Bandung: 1985 Al-Ma’arif.



[1] Masyfuk Zuhdi, Islam dan Keluarga Berencana di Indonesia, Bina Ilmu: Surabaya, 1986, hal. 162.
[2] Fuad Mohammad Fachruddin, Riba dalam bank, Koperasi, Perseroan dan Asuransi. PT. Al-Ma’arif: Bandung, 1985, hal. 201.
[3] Ibid., hal. 205.
[4] Ibid., hal. 206-207
[5] Ibid., hal. 207-208
[6] Ibid., hal 209
[7] Ibid., hal. 209
[8] Zuhdi, op.cit., hal. 164-168
[9] Fachruddin, op.cit., hal. 211
[10] Ibid., hal. 212
[11] Tarjih Muhammadiyah, hal. 309-312
[12] Fachruddin, loc.cit., hal 222
[13] Sulaiman, Thahir Abdul Muhsin. Menaggulangi Krisis Ekonomi secara islam, alih basa oleh , Anshari Umar Sitanggal. Bandung: 1985 Al-Ma’arif, hal-109
[14] Ibid., hal.110
[15] Masail Fiqhiyah, CV. Haji Masagung, Jakarta, 1988: 143.
[16] Fuad Mohammad Fachruddin, Riba dalam bank, Koperasi, Perseroan dan Asuransi. PT. Al-Ma’arif: Bandung, 1985, hal. 110
[17] Pemikiran Ekonomi Islam, alih bahasa A.M. Saefuddin, LIPPM, Jakarta, 1986 hal. 138
[18] Tintamas Jakarta, hal. 116-117
[19] Ibid., hal. 83-86
[20] Ibid., hal 29
[21] Soal jawab tentang Berbagai Masalah Agama, CV. Dipenogoro, Bandung, 1988 hal. 1191
[22] Ibid., hal 44

Tidak ada komentar:

Posting Komentar