BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Jiwa seseorang dapat
diasuransikan untuk keperluan orang yang berkepentingan, baik untuk selama
hidupnya maupun untuk waktu yang ditentukan dalam perjanjian. Orang yang
berkepentingan dapat mengadakan asuransi itu bahkan tanpa diketahui atau
persetujuan orang yang diasuransikan jiwanya.
Jadi setiap orang dapat
mengasuransikan jiwanya, asuransi jiwa bahkan dapat diadakan untuk kepentingan
pihak ketiga. Asuransi jiwa dapat diadakan selama hidup atau selama jangka
waktu tertentu yang dtetapkan dalam perjanjian.
Pihak-pihak yang mengikatkan
diri secara timbal balik itu disebut penanggung dan tertanggung. Penanggung
dengan menerima premi memberikan pembayaran, tanpa menyebutkan kepada orang
yang ditunjuk sebagai penikmatnya.
Begitupun dengan Bank merupakan hasil perkembangan
cara-cara penyimpanan harta benda. Para saudagar merasa khawatir membawa
perhiasan dan yang lain-lainnya dari suatu tempat ke tempat lainnya karena di
pelabuahan dan tempat-tempat yang lain banyak pencuri. Maka, bank merupakan
aternatif yang terdapat untuk menitipkan barang-barang yang berharga, karena
bank dapat dipercaya dan dapat menjaga harta dengan kekuatan tenaga. Dengan
demikian berdirilah bank-bank dengan cara-caranya. Bank memberikan jaminan
kepada penyimpan dan penyimpan dapat pula mengunakan simpanannya denagan
mengunakan cheque, wesel, dan surat-surat lainnya.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas dapat ditarik rumusan masalah,
diantaranya:
- Apa
Pegertian Asuransi dan Bunga Bank ?
- Bagaimana
Hukumnya Asuransi dan Bunga Bank Menurut Syariat Islam ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. ASURANSI
I. Pengertian
Menurut pasal 246 Watboek zan Koophandel, (kitab
Undang-undang Perniagaan) bahwa yang dimaksud dengan asuransi adalah suatu
persetuan di mana pihak yang meminjam berjanji kepada pihak yang dijamin untuk
menerima sejumlah uang premi sebagai peganti kerugian, yang mungkin akan
diderita oleh yang dijamin karena akibat dari suatu peristiwa yang belum jelas
akan terjadi.[1]
Menurut Fuad Mohd. Fachruddin yang dimaksud dengan asuransi adalah suatu
perjanjian-peruntungan.[2] Sebelumnya beliau
menjelaskan definisi asuransi menurut Kitab Undang-Undang perniagaan pasal 246.
II. Macam-Macam Asuransi
Asuransi yang terdapat pada negara-negara di dunia ini bermacam-macam. Hal ini terjadi
karena bermacam-macam pula sesuatu yang diasuransikan. Untuk lebih jelasnya ,
berikut ini macam-macam asuransi itu.
a. Asuransi timbal balik
maksud asuransi timbal balik adalah beberapa orang
memberikan iuran tertentu yang dikumpulkan dengan maksud meringankan atau
melepaskan beban seseorang dari mereka saat mendapat kecelakaan. Jika uang yang
dikumpulkan tersebut telah habis, dipungut lagi iura yang baru untuk persiapan
selanjutnya, demikian seterusnya.
b. Asuransi Dagang
asuransi dagang adalah beberapa manusia yang
senasib bermufakat dala mengadakan pertanggungjawaban bersama untuk memikul
kerugian yang menimpa salah seorang anggota mereka. Apababila timbul kecelakaan
yang merugikan salah seorang anggota kelompok yang telah berjanji itu, seluruh
orang yang tergabung dalam perjanjian tersdebut memikul beban kerugian itu
dengan cara memungut derma (iuran) yang telah ditetapkan atas dasar kerja sama
untuk meringankan teman semasyarakat.[3]
c. Asuransi Pemerintah
asuransi pemerintah adalah menjamin pembayaran
harga kerugian kepada siapa saja yang menderita diwaktu terjadinya suatu
kejadian yang merugiakan tanpa mempertimbangkan keuntungannya, bahkan
pemerintahan menaggung kekurangan yang ada karena uang yang dipungut sebagai
iuran dan asuransi lebih kecil daripada harga pembayaran kerugian yang harus
diberikan kepada penderita diwatu kerugian itu terjadi. Asuransi pemerintah
dilakukan secara oblligator atau paksaan dan dilakukan oleh badan-badan yang
telah ditentukan untuk masing-masing keperluan.[4]
d. Asuransi jiwa
Maksud asuransi jiwa adalah asuransi atas jiwa
orang-orang yang mempertanggungkan atas jiwa oranglain, penanggung (asurador)
berjanji akan membayar sejumlah uang kepada orang yang disebutkan namanya dalam
polis apabila yang mempertanggungkan (yang ditanggung) meninggal dunia atau
sesudah melewati masa-masa tertentu.[5]
e. Asuransi atas Bahaya Yang Menimpa Badan
asuransi atas bahaya yang menimpa badan adalah
asuransi dengan keadaan-keadaan tertentu pada asuransi jiwa atas
kerusakan-kerusakan diri seseorang, seperti asuransi mata, asuransi telinga,
asuransi tangan, atau asuransi atas penyakit-penyakit tertentu. Asuransi ini
banyak dilakukan oleh buruh-buruh industri yang menghadapi bermacam-macam
kecelakaan dalam meninaikan tugasnya.[6]
f. Asuransi Terhadap Bahaya-bahaya Pertanggungjawaban sipil
Maksud asuransi terhadap bahaya-bahaya pertanggungjawaban
sipil adalah asuransi yang diadakan terhadap benda-benda, seperti asuransi
rumah, perusahaan, mobil, kapal udara, kapal laut motor, dan yang lainnya. Di
RPA asuransi mengenai mobil dipaksaan.[7]
III. Pendapat Ulama Tentang Asuransi
Masalah asuransi dalam pandangan ajaran Islam
termasuk masalah ijtihadiyah, artinya hukumnya perlu dikaji sedalam mungkin
karena tidak dijelaskan leh Alquran dan Al-Sunnah secara eksplisit. Para imam
mujtahid seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal
dan para mujtahid yang semasa dengannya tidak memberikan fatwa mengenai
asuransi karena pada masanya asuransi belum dikenal. Sistem asuransi baru
dikenal di dunia Timur pada abad XIX Masehi. Dunia Barat sudah mengenal sistem
asuransi ini sejak abad XIV Masehi, sedangkan para ulama mujtahid besar hidup
pada sekitar abad II s.d IX Masehi.
Di kalangan ulama atau
cendekiawan Muslim terhadap empat pendapat tentang hukum asuransi, yaitu:
a. mengharamkan asuransi dalam segala macam
dan bentuknya seperti sekarang ini, termasuk asuransi jiwa, klmpok ini antara
lain antara lain Sayyid Sabiq yang
diungkap dalam kitabnya Fiqh al-Sunnah, Abdullah al-Qalqili, Muhammad
Yusuf al-Qardhawi, dan Muhammad Bakhit al-Muth’i, alasannya antara lain:
·
asuransi
pada hakikatnya sama dengan judi;
·
mengandung
nsur tidak jelas dan tidak pasti;
·
mengandung
unsur riba/rente;
·
mengandung
unsur eksploitasi karena apabila pemegang polis tidak bisa melanjutkan
pembayaran preminya yang telah dibayarkan;
·
premi-premi
yang telah dibayarkan oleh para pemegang poils diputar dalam praktik riba
(karena uang tersebut dikreditkan dan dibungakan);
·
asuransi
termasuk akad sharfi, artinya jual beli atau tukar-menukur mata uang
tidak dengan uang tunai;
·
hidup
dan matinya manusia dijadikan objek bisnis, yang berarti mendahului takdir
Tuhan Yang Maha Esa.[8]
b. Membolehkan semua asuransi dalam praktiknya
dewasa ini.
Pendapat ini dikemukakan oleh Abdul Wahab Khalaf,
Mustafa Ahmad Zarqa, Muhammad Yusuf Musa dan alasan-alasan yang dikemukakan
sebagai berikut:
·
tidak
ada nash Alquran maupun nash al-Hadis yang melarang asuransi;
·
kedua
pihak yang berjanji (asuradatordan yang mempertanggungkan) dengan penuh
kerelaan menerima oprasi ini dilakukan dengan memikultanggung jawab
masing-masing;
·
asuransi
tidak merugikan salah satu atau kedua belah pihak dan bahkan asuransi
menguntungkan kedua belah pihak;
·
asuransi
mengandung kepentingan umum, sebab premi-premi yang terkemul dapat
diinvestasikan (disalurkan kembali untuk dijadikan modal) untuk proyek-proyek
yang priduktif dan untuk pembangunan;
·
asuransi
termasuk akad mudharabah, maksudnya asuransi merupakan akad kerja sama
bagi hasil antara pemegang polis (pemilik modal) dengan pihak perusahaan
asuransi yang mengatur modal atas dasar bagi hasil (profit and loss sharing);
·
operasi
asuransi dilakukan untuk kemaslahatan umum dan kepentingan bersama;
·
asuransi
menjaga banyak manusia dari kecelakaan harta benda, kekayaan, dan keperibadian.
Dengan alasan-alasan yang demikian, asuransi
dianggap membawa manfaat bagi pesertanya dan perusahaan asuransi secara
bersamaan. Praktik atau tindakan yang dapat mendatangkan kemaslahatan orang
banyak dibenarkan oleh agama.[9]
Lebih jauh Fuad Mohammad Fachrudin menjelaskan
bahwa asuransi sosisal, seperti asuransi kesehatan dan asuransi kecelakaan,
diakibatkan oleh pekerjaan. Negara melakukannya terhadap setiap orang yang
membayar iuran premi yang ditentukan untuk itu, negara pula yang memenuhi
kekurangan yang terdapat dalam perbedaan uang yang telah dipungut dengan uang
pembayar kerugian. Maka asuransi ini menuju kearah kemaslahatan umum yang
bersifat sosial. Oleh karena itu , asuransi ini dibenarkan oleh agama Islam.
Asuransi
terhadap kecelakaan, jika asuransinya tergolong kepada asuransi campur
(asuransi yang di dalamnya termasuk penabungan). Hakikat asuransi campur
mencakup dua premi, yaitu ubntuk menutup
bahaya kematian dan untuk menyiapkan uang yang harus dibayar jika dia tidak
meninggal dunia dalm jangka waktu yang telah ditentukan, maka hukumnya
dibolehkan oleh agama Islam karena asuransicampur didalamnya terdapat dorongan
untuk menabung dan penabungan itu untuk kemaslahatan umum. Syaratnya,
perusahaan asuransi berjanji kepada para pemegang polis bahwa uang preminya
tidak dikerjakan untuk pekerjaan-pekerjaan riba, hal ini sama dengan hhukm
penabungan pada pos, adapun asuransi keclakaan yang diadakan (dilaksanakn)
dengan asuransi biasa menurut Fuad Mohammad Fachruddin tidak dibolehkan, karena
asuransi ini tidak menuju ke arah kemaslahatan umum dan kepentingan bersama.[10]
c. membolehkan asuransi yang
bersifat sosial dan mengharamkan asuransi yang bersifat komersial semata.
Pendapat ini dikemukakan
oleh Muhamad Abu Zahrah. Alasan yang dapat digunakan untuk membolehkan asuransi
yang berifat sosial sama dengan alasan pendapat kedua, sedangkan alasan
penggharaman asuransi bersifat komersial semata-mata pada garis besarnya sama
dengan alasan pendapat pertama.
d. Menganggap bahwa asuransi
bersifat syubhat karena tidak ada dalil-dalil syar’i yang secara jelas
mengharamkan ataupun secara jelas menghalalkannya. Apabila hukum asuransi
dikatagorika syubhat, konsekuensinya adalah umat Islam dtuntut untuk
berhati-hati (al-ihtiyath) dalam menghadapi asuransi. Umat Islam baru
dibolehkan menjadi polis atau mendirikan perusahaan asuransi apabila dalam
keadaan darurat.[11]
IV. Keputusan Konfrensi Negara-Negara Islam
Sedunia Di Kualalumpur Mengenai Asuransi
Mengingat asuransi sudah terdapat dan berjalan di
sebagian besar negara yang sebagian besar penduduknya beragama Islam maka
negara-negara Islam sedunia
berkonfermasi dengan keputusan-keputusan sebagainberikut.
a. Asuransi yang di dalamnya terdapat unsur
riba dan eksploitasi adalah haram.
b. Asuransi yang bersifat koperatif hukumnya
halal:
·
Asuransi
yang khusus untuk suatu usaha dapat dilakukan oleh manusia (sekumpul manusia)
atas dasar koperatif;
·
Suatu
asuransi yang tidak terbatas untuk sesuatu usaha dapat dilakukan oleh
pemerintah;
·
Konferensi
menganjurkan pemerintah-pemerintah Islam untuk mengadakan asurans yang bersifat
koperatif antara negara-negara Islam.
Peserta-peserta asuransi ini membayar iuran berupa
uang yang tidak boleh diambil kembali kecuali pada saat ia berhak menerimanya.
c. mengingat pentingnya
perdagangan internasional, maka asuransi dalam lingkup internasional yang ada
sekarang diangga halal, berdasarkan hukum darurat.[12]
B. BANK
I.
Pengertian
Menurut Fuad
Mohd Fachruddin,[13]
bank berasal kata bangko ( Bahasa Italia), sedangkan menurut Yan
Pramadyapuspa (t.t: 71) sebagai mana dikutip Mohd. Fchruddin, banyak berasal dari Bahasa Inggris atau
Belanda yang berarti kantor penyimpanan uang. Bank adalah symbol bahwa para penukar uang (monez canger)
meletakan uang penukaran di atas meja, meja ini dinamakan Banko zaitu
bangku dalam Bahasa Indonesia. Jadi, kata Bank diambil dari kata bankosebagai simbol ppenukaran uang di
Italia.
Fuad Mohd. Fachruddin[14] berpendapat bahwa yang
dimaksud bank menurut istilah adalah perusahaan yang meperdagangkan
utang-piutang, baik yang berupa uangnya sendiri maupun uang orang lain.
Masifuk zhudi[15] berpendapat bahwa zang
dimaksud dengan bank non Islam adalah sebuah lembaga keuangan yang pungsi
utamanya untuk menghimpun dana yang kemudian disalurkan kepada orang ataw
lembaga yang membutuhkannya guna inventasi (penanaman modal) dalam usaha-usaha
yang produkti dengan sistem bunga.
II. Sejarah Pendirian Bank
Bank merupakan hasil
perkembangan cara-cara penyimpanan harta benda. Para saudagar merasa khawatir
membawa perhiasan dan yang lain-lainnya dari suatu tempat ke tempat lainnya
karena di pelabuahan dan tempat-tempat yang lain banyak pencuri. Maka, bank
merupakan aternatif yang terdapat untuk menitipkan barang-barang yang berharga,
karena bank dapat dipercaya dan dapat menjaga harta dengan kekuatan tenaga.
Dengan demikian berdirilah bank-bank dengan cara-caranya. Bank memberikan
jaminan kepada penyimpan dan penyimpan dapat pula mengunakan simpanannya
denagan mengunakan cheque, wesel, dan surat-surat lainnya.
Bank pertama berdiri di
Venisia dan Geno di Italia, kira-kira abad ke-14.[16] kota-kota tersebut
dikenal sebagai kota perdagangan. Dari kedua kota ini berpindahlah sistem bank
ke Eropa barat. Di Inggris didirikan Bank of england pada tahun 1696.
III. Pendapat Ulama Tentang Bunga Bank
1. Pendapat yang Mengharamkan Bunga Bank
Alasan-alasan bunga
diharamkan menurut muhammad Neta-Jullah Siddiqi[17] adalah sebagai berikut :
- bunga
bersifat menindas (dolim) yang menyangkut pemerasan. Dalam pinjaman
konsumtif seharusnya yang lemah (kekurangan) di tolong oleh yang kuat
(mampu) tetapi bunga bank pada awalnya orang lemah ditolong kemudian
diharuskan membayar bunga, itu tidak titolong, tetapi memeras. Hal ini dapat
dikatakan bahwa yang kuat menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Dalam
pinjaman produktif dianggap pinjaman tidak adil, mengingat bunga yang
harus dibyar sudah ditentukan dalam meminjam, sementara keuntungan dalam
usaha belum pasti.
- Bunga
memindahkan kekayaan dari orang miskin (lemah) kepada orang kaya (kuat)
yang kemudian dapat menciptakan ketidakseimbanagan kekayaan. Ini
bertentangan dengan kepentingan sosial dan berlawanan dengan kehendak
Allah yang menghendaki pnyebaran pendapat dan kekayaan yang adil. Islam
menganjurkan kerja sama dan persaudaraan dan bunga bertentangan dengan
itu.
- Bunga
dapat menciptakan kondisi manusia penganggur, yaitu para penanam modal
dapat menerima setumpukan kekayaan
dari bunga-bunga modalnya sehingga nereka tidak bekerja untuk menutupi
kebutuhannya. Cara seperti ini berbahaya bagi masyarakat juga bagi pribadi
orang tersebut.
Muhammad abu zahrah menegaskan bahwa rente (bunga)
bank termasuk Riba nas’iah yang diharamkan dalam agama Islam oleh Allan
dan Rasul-Nya.
Anwar Iqbal Qureshi dalam buku Islam dan teori
pembungaan uang[18],
menegaskan bahwa beliau sepakat dengan pendapat Muhammad al-Fakhri yang
menyatakan bahwa:
a.
Bunga
pada dasarnya bertentangan dengan prinsip liberal Islam yang merupakan
dasar pokok susunan masyarakat islam;
b.
Sanagat
salah suatu pandangan yang mengatakan bahwa Islam tidak melarang bunga bias,
tetapi hanya melarang bunga yang berlipat ganda. Sebetulnya dalam ajaran Islam
setiap jenis bunga betapapun kecilnya dinyatakan terlarang;
c.
Sebagian
masyarakat berpendapat bahwa bank menolong industri dan transaksi-transaksi
dagang sehingga pemungutan bunga diijiankan pendapat ini ternyata keliru, yang
jelas bunga bank sama dengan bunga yangdiambil oleh sahukar, yaitu seorang
yahudi tua yang pekerjaannyamemberikan pinjaman uang dan mengambil bunganya;
d.
Untuk
mencoba membenarkan bahwa bunga bank bertentangan dengan pandangan islam, maka
kewajiban umat islam untuk mengemukakan perinsip-prinsip dasar ajaran islam
yang berhubungan dengan hal itu dan bukan menyembunyikan kelemahan-kelemahan
dengan cara membenarkan pengambilan bunga bank tersebut.
Alasan-alasan yang dikemukakan imam pachrudin razi
tentang larangan pembungaan uang yang dikemukakan dalam kitabnya mafatih
al-Ghoib atau terkenal dengan tafsir kabir,[19]
adalah sebagai berikut:
- setiap
perubahan atau penambahan disebut riba nasyiah dan riba nasyiah diharamkan
oleh agama.
- Bunga
memungkinkan seseorangmemaksakan pemilihan harta benda orang lain tanpa
alasan-alasan yang diijinkan oleh aturan-aturan sehingga perampas tidak
memperdulikan haka-hak orang lain.
- Secara
nyata pengahasilan yang diterma dari bunga uang menghamabat pemberi utang
untuk berusaha memasuki suatu jaban
atau pekerjaan dimasyarakat karna dia tidak berusahapun kebutuhan hidupnya
sudah terpenuhi.
- Hutang
selalu menurunkan harga diri dan kehormatan seseorang dimasyarakat.
Apabila pembayaran ditambah dengan bunga, maka akan menghasilkan perasaan
akan saling menghormati sfat-sifat yang baik dan perasaan berhutang budi.
- Apabila
dalam transaksi pijam-memijam diijinkan pembungaan maka akan terjadi
kesenjangan sosial, yakni yang meminjamkan akan semakin kaya dan yang
meminjam akan semakin tercekik.
- Alasan
terakhir bunga bank dilarang ialah karena bunga bank bertentangan dengan
frinsif-prinsip ajaran Allah yang terdapat dalam Al-Quran dan
Rasull-Nya.
2. Pendapat yang Mensamarkan/Mensyubhatkan Bunga
Bank
Ulama Muhammadiyah dalam mu’tamar Tarjih di
Sidoarjo Jawa Timur pada tahun 1968 memutuskan bahwa bynga bank yang
diberikan oleh bank-bank milik
negara kepada para nasabahnya dan sebaliknya
termasuk masalah musytabihat. Masalah musytabihat adalah perkara
yang belum ditemukan kejelasan hukum halal atau haramnya, sebab mengandung
unsur-unsur yang mungkin dapat disimpulkan sebagai perkara yang haram. Namun,
ditinjau dari lain, ada pula unsur-unsur lain yang meringankan keharamannya. Di
pihak lain bunga masih termasuk riba sebab merupakan tambahan dari pinjaman
pokok. Meskipun tidak terlalu besar, tetapi disisi lain bunga yang relatif
kecil itu bukan merupakan keuntungan perorangan, melainkan keuntungan yang
digunakan untuk kepentingan umum. Pertimbangan besar kecilnya bunga dan segi
penggunaannya dirasakan agak meringankan sifat larangn riba yang unsur utamanya
adalah pemerasan dari orang-orang kaya terhadap orang-orang miskin meskipun
bunga bank dianggap musytabihat tidak berarti umat Islam diberikan
kebebasan untuk mengembangkan bunga. Nabi Saw. Memerintahkan umat Islam
hati-hati terhadap perkara subhat dengan cara mejauhinya.[20]
Menyimak pendapat Musthafa
Ahmad al-zarqa dan ulama muhammadiyah di atas, kiranya dapat dipahami bahwa umat Islam diperbolehkan bermuamalah
dengan bank negara karna bunga juga kecil dan penggunaan keuntungan dari bank
tersebut untuk kepntingan umum. Permasalahnnya ialah bagaimana dengan bank
swasta, apakah boleh bermuamalah dengannya atau tidak. Musthafa Ahmad al-zarqa
dan ulama Muhammadiyah menekankan segi darurat dan suku bunga yang relatif
kecil. Bermuamalah dengan bank suasta dibolehkan, karena keadaan darurat dan
bank swasta bunganya relatif sama dengan bank negara, akan tetapi, apabila yang
ditekankan segi pengunaan,umat islam tiak boleh bermuamalah dengan bank swasta
sebab keuntungan dari bunga bank negara digunakan untuk kepentingan umum,
sedangkan pengunaan keuntungan dari bank swasta adalah hanya orang-orang
tertentu, yaitu para penanam modal (saham) dan para pekerjanya.
3. Pendapat yang Menghalalkan Bunga Bank
Pendapat yang ketiga
adalah pendapat yang menghalalkan pengambilan atau pembayaran bunga di bank
yang ada dewasa ini, baik bank negara maupun bank swasta. Pendapat ini
dipelopori oleh A.Hassan yang juga dikenal dengan Hasan Bandung, meskipun sudah
bertahun-tahun tingal di Pesantren Bngil (persis). Alasan yang digunakan adalah
firman Allah Swt.
Artinya: Janganlah kamu memakan riba dengan
berlipat ganda
(Ali-imran: 130)
Jadi, yang termasuk riba
menurut A. Hassan adalah bunga yang berlipat ganda. Bila bunga hanya dua persen
dari modal pinjaman itu, itu tidak berlipat ganda sehingga tidak termasuk riba
yang diharamkan oleh agama Islam.[21]
Pendapat A. Hasan ini
dibantah oleh fuad mohd. Fachruddin dalam bukunya yang berjudul riba dalam
bank, koperasi, perseroan dan asuransi.[22]
Menurut fuad mohd. Fachruddin dalam surat al-imran ayat 130 dijelaskan riba
yang berlipat ganda atau riba jahiliyah, sedangkan bunga tidak berlipat ganda.
Hal ini tidak berarti bahwa bunga yang berlipat ganda itu boleh, adh’afah
mudha’afah adalah sebagai qayid, mafhum mukhalafah ditolak apa biala
ada qayid yang mengatakan suatu kejadian. Jadi, adh’afan mudha’afah adalah
menjelaskan kejadian yang sedemikian hebatnya riba di Zaman Jahiliah.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Azhar Basyir, Riba, Utang-piutang dan Gadai, PT. Al-Ma’arif, Bandung,
1983.
Fuad Mohammad Fachruddin, Riba dalam bank, Koperasi, Perseroan dan
Asuransi. PT. Al-Ma’arif: Bandung, 1985.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqih Muamalah, Bulan Bintang,
Jakarta, 1984.
Islam dan Teori Pembungaan Uang, Tintamas, Jakarta, 1985.
Masyfuk Zuhdi, Islam dan Keluarga Berencana di Indonesia, Bina Ilmu:
Surabaya, 1986.
Masail Fiqhiyah, CV. Haji Masagung, Jakarta, 1988.
Muh. Nejatullah Shiddiqi, Asuransi dalam Islam, (Pustaka: Bandung, 1987).
Pemikiran Ekonomi Islam, alih bahasa A.M. Saefuddin, LIPPM, Jakarta, 1986.
Sulaiman, Thahir Abdul Muhsin. Menaggulangi Krisis Ekonomi secara islam,
alih basa oleh , Anshari Umar Sitanggal. Bandung: 1985 Al-Ma’arif.
[1]
Masyfuk Zuhdi, Islam dan Keluarga Berencana di Indonesia, Bina Ilmu: Surabaya,
1986, hal. 162.
[2] Fuad Mohammad Fachruddin, Riba dalam
bank, Koperasi, Perseroan dan Asuransi. PT. Al-Ma’arif: Bandung, 1985, hal.
201.
[3] Ibid., hal. 205.
[4] Ibid., hal. 206-207
[5] Ibid., hal. 207-208
[6] Ibid., hal 209
[7] Ibid., hal. 209
[8] Zuhdi, op.cit., hal. 164-168
[9] Fachruddin, op.cit., hal. 211
[10] Ibid., hal. 212
[11] Tarjih Muhammadiyah, hal. 309-312
[12] Fachruddin, loc.cit., hal 222
[13]
Sulaiman, Thahir Abdul Muhsin. Menaggulangi Krisis Ekonomi secara islam, alih
basa oleh , Anshari Umar Sitanggal. Bandung: 1985 Al-Ma’arif, hal-109
[14]
Ibid., hal.110
[15]
Masail Fiqhiyah, CV. Haji Masagung, Jakarta, 1988: 143.
[16] Fuad Mohammad Fachruddin, Riba dalam
bank, Koperasi, Perseroan dan Asuransi. PT. Al-Ma’arif: Bandung, 1985, hal. 110
[17] Pemikiran Ekonomi Islam, alih
bahasa A.M. Saefuddin, LIPPM, Jakarta, 1986 hal. 138
[18] Tintamas Jakarta, hal. 116-117
[19] Ibid., hal. 83-86
[20] Ibid., hal 29
[22] Ibid., hal 44
Tidak ada komentar:
Posting Komentar