BAB
II
PEMBAHASAN
A.
WAHDAT
AL-WUJUD
1. Pengertian
Wahdat al-wujud
adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata, yaitu wahdat dan al-wujud. Wahdat
artinya sendiri, tunggal atau kesatuan, sedangkan al-wujud artinya ada. Dengan
demikian wahdat al-wujud berarti kesatuan wujud.[1]
Kata wahdah selanjutnya digunakan untuk arti yang bermacam-macam. Di kalangan
ulama klasik ada yang mengartikan wahdah sebagai sesuatu yang zatnya tidak
dapat dibagi-bagi pada bagian yang lebih kecil. Selain itu kata al-wahdah
digunakan pula oleh para ahli filsafat dan sufistik sebagai suatu kesatuan
antara materi dan roh, substansi (hakikat) dan forma (bentuk), antara yang
tampak (lahir) dan yang batin, antara alam dan Allah, karena alam dari segi
hakikatnya qadim dan berasal dari Tuhan.[2]
2.
Faham
Wahdat Al-Wujud
Faham wahdat al-wujud yang
dikemukakan oleh Ibn’Arabi dapat dijelaskan seperti berikut: bahwa wujud yang
hakiki itu hanyalah Satu, walaupun ada banyak macam penampakan keluarnya.
Artinya,bahwa makhluq adalah aspek lahirnya, sedangkan aspek batin dari segala
sesuatu ini adalah Allah.Dengan demikian, dari segi hakekat tidak ada perbedaan
antara Khaliq dan makhluq.Jika terlihat perbedaan antara khaliq dan makhluq
maka itu karena dilihat dengan pandangan panca indra lahir dank arena
keterbatasanakal dalam menangkap hakikat yang ada Dzatnya dari kesatuan dzatiyah,yang semua yang ada terhimpun
pada-Nya.
Faham wahdat al- wujud dilihat sebagai faham yang mempersamakan
Tuhan dengan makhluk yang terang bertentangan dengan perintah Tuhan untuk tidak
mempersamakan-Nya dengan suatu apapun juga. Disamping itu,konsep ini juga telah
melahirkan penjelasan- penjelasan ( konsep- konsep) yang secara jelas
bertentangan dengan ayat- ayat Al- Qur’an. Diantara konsep- konsep tersebut
adalah:
1.
Fir,aun dilihat
sebagai mukmin yang sempurna imannya.
2.
seluruh orang
kafir yang ada dimuka bumi dikatakan sebagai sebagai mukmin yang bertauhid,
bermakrifat dan mencapai tuhan.
3.
Nabi Harun
dipandang bersalah karena melarang bani Israel menyembah patung anak sapi,
sebab patung anak sapi itu adalah salah satu bentuk sesembahan Yang Haq.
4.
konsep pahala
dan dosa tidak jelas yang berakibat pada kerusakan moral.
5.
Semua agama
diyakini sama.
1.
Firaun
dikatakan mukmin yang sempurna imannya.
Firaun adalah orang yang beriman dan bermakrifat karena ia mengetahui hakikat
kebenaran bahwa semua manusia dan ala m ini adalah Tuhan-Tuhan sekaligus
makhluq pada waktu yang sama.Karena dia seorang mukmin maka kelak ia akan masuk
surga. Dalam konteks ini, Nabi Musa pula dituding sebagai orang yang tidak
bermakrifat (berpengetahuan), Karena ia hanya mengetahui satu dimensi saja,ia
tidak mengerti bahwa dia sendiri dan alam adalah Tuhan dan makhluq pada waktu
yang sama.
Pemahaman
seperti ini jelas bertentangan dengan firman Allah SWT berikut:
“
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Musa dengan tanda- tanda (kekuasaan ) Kami
dan mu’jizat yang nyata,kepada firaun dan pemimpin kaumnya, tetapi mereka
mengikuti perintah Firaun, padahal sekali- kali perintan firaun bukanlah
(perintah yang benar).Ia berjalan di muka kaumnya di hari kiamat lalu
memasukkan mereka kedalam neraka.Neraka itu seburuk- buruknya tempat yang
didatangi.dan mereka selalu diikuti dengan kutukan di dunia ini dan dan (
begitu pula )di hari kiamat.laknat itu seburuk- buruk pemberian yang
diberikan.”
Ada sejumlah ayat yang lain mengutuk yang isinya mengutuk firaun,
menempatkannya sebagai makhluk yang durhaka,bukan seorang mukmin, yang kelak
akan dilempar ke dalam Neraka,kekal didalamnya.
2.
Semua orang
kafir yang ada di muka bumi adalah orang mukmin yang bertauhid,bermakrifat dan
mencapai Tuhan. Orang – orang kafir bukanlah oarng yang mengingkari
Allah,tetapi orang yang mengagumkan karena menganut faham bahwa Tuhan beraneka
bentuk.Di sisi lain , orang mukmin adalah orang yang yang beriman kepada
sebagian dari kebenaran saja ,namun ingkar kepada sebagian yang lain.ini adalah
buah dari faham wahdat al-wujud.
Faham seperti ini bertolak belakang dengan substansi ajaran
Al-Quran dan sunnah rasulullah SAW. Yang membersihkan Allah dari segala yang
tidak baik.Al-Quran dan sunnah tidak pernah menjelaskan bahwa substansi
kejelekan ,kebejatan dan kehinaan adalah Allah.Menganggap Allah saja mempunyai
anak sudah dinilai oleh Al-Quran sebagai kemungkaran yang membuat langit hampir
pecah,bumi terbelah dan gunung- gunung runtuh. Allah berfirman:
“ Dan mereka
berkata:” Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil(mempunyai) anak”.sesungguhnya kamu
telah mendatangkan suatu perkara yang sangat mungkar,hampir- hamper langit
pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung- gunung runtuh,karena mereka
mendakwakan Allah Yang Maha Pemurah mengambil ( mempunyai ) anak.Tidak ada
seorangpun di langit dan di bumi,kecuali akan dating kepada Tuhan yang Maha
Pemurah selaku seorang hamba.Sesungguhnya Allah telah menentukan jumlah mereka
dan menghitung mereka dengan hitunga yang teliti.Dan tiap- tiap mereka akan
dating kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri- sendiri”.
3. Nabi Harun
dikatakan bersalah karena melarang Bani Israel untuk menyembah anak sapi,
sedangkan patung anak sapi itu adalah salah satu bentuk- bentuk sesembahan yang
Hak. Kesalahan Nabi Harun adalah karena ia tidak mengetahui kebenaran bahwa
yang disembah bani Israel itu substansinya adalah Tuhan.
Dikatakan bahwa
kemarahan Nabi Musa kepada Samiri (pembuat patung anak sapi) adalah dikarenakan
Samiri telah membatasi Tuhan kepada anak sapi saja, sedangkan segala sesuatu
adalah Tuhan. Agar Tuhan tidak terbatas kepada yang satu itu saja,maka nabi
musa membakar anak sapi tersebut.Nabi Musa faham bahwa menyembah anak sapi itu
adalah menyembah tuhan,sebab segala sesuatu dalah tuhan.Ininadalah penyimpangan
dari apa yang dijelaskan oleh Al-Quran tentang Nabi Musa dan Nabi Harun yang
kedua- duanya menyeru kepada meng-esakan Allah dan hanya mengabdi kepada-Nya
4.Bersumber
dari faham wahdat al-wujud,konsep pahala dan dosa tidak jelas.siapa yang
memberi pahala dan kepada siapa yang diberikan pada saat seseorang melakukan
kebaikan atau kebajikan. Siapa yang berdosa dan kepada siapa dosa itu
disandarkan pada saat seseorang melakukan pelanggaran atau kejahatan.ini
menjadi sebuah pertanyaan yang besar,karena manusia itu sendiri adalah
bahagianyang tidak terpisahkan dari Tuhan.
Faham seperti ini disamping mendobrak prinsip- prinsip ajaran
islam,juga dapat mengancam nilai – nilai moral umat manusia,sebab faham seperti
itu pada prinsipnya tidak lagi mengenal mana mana yang baik dan mana yang
buruk,mana yang benar dan mana yang salah.Bukankah semua adalah perbuatan
tuhan.karena itu,didalam literature tasawuf pernah dikenal seorang tokoh sufi
beraliran wahdat al-wujud,Ibn Al-Farid,yang mempunyai beberapa wanitasimpanan
yang selalu ia datangi untuk berdansa dan bercumbu dengan mereka
5.Semua agama
sama. Ini adalah buah dari faham wahdat al-wujud.Karena semua bersumber dari
Tuhan dan bahkan semua hakikatnya adalah Tuhan Yang Maha Benar,maka tidak ada
satupun didunia ini yang tidak benar,termasuklah agama atau kepercayaan.
Memandang salah satu agama saja yang benar berarti mempersempit arti
kebenaran,padahal sebenarnya semua adalah kebenaran,sebabsemua adalah Tuhan Yang
Maha Benar.Ini jelas bertolak belakang dengan Ayat – ayat Al-Quran yang sangat
banyak menerangkan mana yang benar dan mana yang salah,mana yanghak dan mana
yang batil.Para Rasulpun diutus untuk mengajak kepada kepada kebenaran dan
menghindari kebatilan atau kejahatan.Begitu cara ringkas kertikan – keritikan
yang di tunjukkan kepada faham wahdat al-wujud dengan berbagai konsep atu
ajaran yang lahir darinya.[3]
3.
Tokoh
Pembawa Ajaran Wahdat al-Wujud
a. Ibnu
Arabi
Paham Wahdatul Wujud dibawa oleh Muhyiddin Ibn Arabi
yang lahir di Murcia, Spanyol di tahun 1165. Setelah selesai studi di Seville, ia pindah ke Tunis di tahun 1145, dan di sana ia
masuk aliran sufi. Di tahun 1202 M. ia pergi ke Mekkah dan meninggal di
Damaskus di tahun 1240 M.
Selain sebagai
sufi, Ibn Arabi juga dikenal sebagai penulis yang produktif. Jumlah buku yang
dikarangnya menurut perhitungan mencapai lebih dari 200, di antaranya ada yang
hanya 10 halaman, tetapi ada pula yang merupakan ensiklopedia tentang sufisme
seperti kitab Futuhah al'Makkah. Disamping buku ini, bukunya yang termasyhur
ialah Fusus al-Hikam yang juga berisi tentang tasawuf.
Menurut Hamka, Ibn Arabi dapat disebut sebagai orang yang telah sampai pada puncak wahdatul wujud. Dia telah menegakkan pahamnya dengan berdasarkan renungan pikir dan filsafat dan zauq tasawuf. la menyajikan ajaran tasawufnya dengan bahasa yang agak berbelit-belit dengan tujuan untuk menghindari tuduhan, fitnah dan ancaman kaum awam sebagaimana dialami al-Hallaj.
Menurut Hamka, Ibn Arabi dapat disebut sebagai orang yang telah sampai pada puncak wahdatul wujud. Dia telah menegakkan pahamnya dengan berdasarkan renungan pikir dan filsafat dan zauq tasawuf. la menyajikan ajaran tasawufnya dengan bahasa yang agak berbelit-belit dengan tujuan untuk menghindari tuduhan, fitnah dan ancaman kaum awam sebagaimana dialami al-Hallaj.
b.
Ajaran
Tasawuf Ibnu Arabi
Ajaran pertama dari
Ibn Arabi adalah tentang wahdat al-wujud (kesatuan wujud) yang merupakan
ajaran sentralnya. Wahdat al-wujud ini bukan berasal dari dirinya tetapi
dari Ibn Taimiyah yang sekaligus merupakan tokoh yang mengecam keras dan
mengkritik ajaran sentral tersebut. Untuk lebih jelasnya kritikan Ibn Taimiyah
atas ajaran Ibn Arabi, terlebih dahulu dapat kita perhatikan pandangan mereka
terhadap wahdat al-wujud; menurut Ibn Taimiyah, wahdat al-wujud
adalah penyamaan Tuhan dengan alam. Menurut penjelasannya orang-orang yang
mempunyai pemahaman wahdat al-wujud mengatakan bahwa wujud itu
sesungguhnya hanya satu dan wajibul wujud yang dimiliki oleh khaliq juga
mumkinul wujud yang dimiliki oleh makhluk selain itu, kemudian mereka
mengatakan juga bahwa wujud alam sama dengan wujud tuhan tidak ada perbedaan.
Sedangkan menurut
Ibn Arabi, hanya ada satu wujud dari semua wujud yang ada, adapun wujud mahluk
merupakan hakikat dari wujud Khaliq tidak ada perbedaan antara keduanya dari
segi hakikat. Kalaupun ada yang mengira bahwa antara wujud khaliq dan makhluk
ada perbedaan, hal itu dilihat dari sudut pandang pancaindra lahir dan akal
yang terbatas kemapuannya dalam menangkap hakikat apa yang ada pada Dzat-Nya
dari kesatuan dzatiah yang segala sesuatu berhimpun pada-Nya. Dari pengertian
tersebut, Ibn Taimiyah telah menilai ajaran sentral Ibn Arabi dari aspek
tasybihnya saja (penyerupaan Khaliq dengan makhluq), tetapi belum menilai
dari aspek Tanzihnya (penyucian khaliq).
Apabila dilihat dari segi adanya kesamaan antara wujud
Tuhan dan wujud alam dan wujud Tuhan bersatu dengan wujud alam, perlu diingat
bahwa Ibn Arabi menyebut wujud, maksudnya adalah wujud mutlak, yaitu wujud
Tuhan. Satu-satunya wujud adalah wujud Tuhan. Tidak ada wujud selain wujud-Nya.
Dapat disimpulkan bahwa tidak ada wujud selain wujud tuhan, adapun Ibn Arabi
menggunakan wujud terhadap selain tuhan yaitu wujud alam, pada hakikatnya wujud
tersebut milik Tuhan yang dipinjamkan kepadanya, untuk hal ini Ibn Arabi
memberikan contoh berupa cahaya hanya milik matahari, tetapi cahaya itu
dipinjamkan kepada para penghuni bumi.
Selanjutnya Arabi menjelaskan hubungan antara Tuhan
dengan alam, menurutnya, alam adalah bayangan Tuhan atau bayangan wujud yang
hakiki dan alam tidak mempunyai wujud yang sebenarnya. Oleh karena itu, alam
merupakan tempat Tajali dan Mazhar (penampakan) Tuhan. ketika Allah menciptakan
alam ini, ia juga memberikan sifat-sifat ketuhanan pada segala sesuatu. Alam ini seperti cermin yang buram dan seperti badan yang
tidak bernyawa. Oleh karena itu,
Allah menciptakan manusia untuk memperjelas cermin itu. Dengan pernyataan lain,
alam ini merupakan mazhar (penampakan) dari asma dan difat Allah yang
terus-menerus. Tanpa alam, sifat dan asma-Nya itu akan kehilangan makna dan
senantiasa dalam bentuk dzat yang tinggal dalam ke-mujarad-an (kesendirian)-Nya
yang mutlak yang tidak hanya dikenal oleh siapa pun.
Berkaitan dengan tanzih dan tasybih Ibn Arabi
menjelaskan firman Allah, laisa kamitslihi syaiin mengandung pengertian,
“Tanzihkan-lah Dia”, sedangkan firmannya, wahua samii’ul bashiir,
mengandung pengertian, “Tasybihkan-lah Dia”. Dengan demikian, firman Allah laisa
kamitslihi syaiin wahua samii’ul bashiir mengandung pengertian,
Tasybihkan-lah Dia dan jadikannlah dualitas, dan tanzih-kanlah Dia dan jadilah
monistis”.
Dari kutipan-kutipan di atas, jelas sekali bahwa Ibn Arabi masih
membedakan antara Tuhan dan alam, dan wujud Tuhan itu tidak sama dengan wujud
alam. Meskipun di satu sisi terkesan
menyamakan Tuhan dengan alam, di sisi lain ia menyucikan Tuhan dari adanya
persamaan.
1) Alam materi, yaitu alam indrawi.
Penjelasan berikutnya dari Ibn Arabi mengenai proses kejadian penciptaan
alam dan hubungannya dengan kedua ajaran tersebut sebagai berikut; Pertama,
wujud Tuhan sebagai wujud mutlak, yaitu dzat yang mandiri dan tidak berhajat
kepada suatu apa pun. Kedua, wujud Haqiqah Muhammadiyyah sebagai emanasi
(pelimpahan) pertama dari wujud Tuhan dan dari sini muncul segala yang wujud
dengan proses tahapan-tahapannya sebagaimana yang dikemukakan di atas. Dengan
demikian Ibn Arabi menolak ajaran yang mengatakan bahwa alam semesta ini
diciptakan dari tiada (cretio ex nihili). Selanjutnya, ia mengatakan bahwa Nur
Muhammad itu qadim dan merupakan sumber emanasi dengan berbagai macam
kesempurnaan ilmiah dan amaliah yang terealisasikan pada para nabi semenjak
Adam
Para penulis berpendapat
bahwa, Ibn Arabi ini terlalu berlebihan dan tidak punya landasan yang kuat
sebab agama-agama berbeda-beda satu sama lain, dengan ungkapan lain paham ini
menyimpang dari Islam.
B. Insan Kamil
1.
Pengertian
Insan Kamil
Insan kamil berasal
dari bahasa Arab, yaitu dari dua kata: Insan dan kamil. Secara harfiah, Insan
berarti manusia, dan kamil berarti yang sempurna[4].
Dengan demikian, insan kamil berarti manusia yang sempurna.
Selanjutnya Jamil Shaliba mengatakan bahwa kata insan menunjukkan pada sesuatu yang secara khusus digunakan untuk arti manusia dari segi sifatnya, bukan fisiknya. Dalam bahasa Arab kata insan mengacu kepada sifat manusia yang terpuji seperti kasih sayang, mulia dan lainnya. Selanjutnya kata insan digunakan oleh para filosof klasik sebagai kata yang menunjukkan pada arti manusia secara totalitas yang secara langsung mengarah pada hakikat manusia. Kata insan juga digunakan untuk menunjukkan pada arti terkumpulnya seluruh potensi intelektual, rohani dan fisik yang ada pada manusia, seperti hidup, sifat kehewanan, berkata-kata dan lainnya[5].
Selanjutnya Jamil Shaliba mengatakan bahwa kata insan menunjukkan pada sesuatu yang secara khusus digunakan untuk arti manusia dari segi sifatnya, bukan fisiknya. Dalam bahasa Arab kata insan mengacu kepada sifat manusia yang terpuji seperti kasih sayang, mulia dan lainnya. Selanjutnya kata insan digunakan oleh para filosof klasik sebagai kata yang menunjukkan pada arti manusia secara totalitas yang secara langsung mengarah pada hakikat manusia. Kata insan juga digunakan untuk menunjukkan pada arti terkumpulnya seluruh potensi intelektual, rohani dan fisik yang ada pada manusia, seperti hidup, sifat kehewanan, berkata-kata dan lainnya[5].
Adapun kata kamil
dapat pula berarti suatu keadaan yang sempurna, dan digunakan untuk menunjukkan
pada sempurnanya zat dan sifat, dan hal itu terjadi melalui terkumpulnya
sejumlah potensi dan kelengkapan seperti ilmu, dan sekalian sifat yang baik
lainnya[6].
Selanjutnya kata insan dijumpai di dalam al-Qur'an dan dibedakan dengan istilah basyar dan al-nas. Kata insan jamak-nya kata al-nas. Kata insan mempunyai tiga asal kata. Pertama, berasal dari kata anasa yang mempunyai arti melihat, mengeta-hui dan minta izin. Yang kedua berasal dari kata nasiya yang artinya lupa. Yang ketiga berasal dari kata al-uns yang artinya jinak, lawan dari kata buas. Dengan bertumpu pada asal kata anasa, maka insan mengandung arti melihat, mengetahui dan meminta izin, dan semua arti ini berkaitan dengan kemampuan manusia dalam bidang penalaran, sehingga dapat menerima pengajaran.
Selanjutnya dengan bertumpu pada akar kata nasiya, insan mengandung arti lupa, dan menunjukkan adanya kaitan dengan kesadaran diri. Manusia lupa terhadap sesuatu karena ia kehilangan kesadaran terhadap hal tersebut. Orang yang lupa dalam agama dapat dimaafkan, karena hal yang demikian termasuk sifat insaniyah.
Selanjutnya kata insan dijumpai di dalam al-Qur'an dan dibedakan dengan istilah basyar dan al-nas. Kata insan jamak-nya kata al-nas. Kata insan mempunyai tiga asal kata. Pertama, berasal dari kata anasa yang mempunyai arti melihat, mengeta-hui dan minta izin. Yang kedua berasal dari kata nasiya yang artinya lupa. Yang ketiga berasal dari kata al-uns yang artinya jinak, lawan dari kata buas. Dengan bertumpu pada asal kata anasa, maka insan mengandung arti melihat, mengetahui dan meminta izin, dan semua arti ini berkaitan dengan kemampuan manusia dalam bidang penalaran, sehingga dapat menerima pengajaran.
Selanjutnya dengan bertumpu pada akar kata nasiya, insan mengandung arti lupa, dan menunjukkan adanya kaitan dengan kesadaran diri. Manusia lupa terhadap sesuatu karena ia kehilangan kesadaran terhadap hal tersebut. Orang yang lupa dalam agama dapat dimaafkan, karena hal yang demikian termasuk sifat insaniyah.
Dengan demikian,
insan kamil lebih ditujukan kepada manusia yang sempurna dari segi pengembangan
potensi intelektual, rohaniah, intuisi, kata hati, akal sehat, fitrah dan
lainnya yang bersifat batin lainnya, dan bukan pada manusia dari dimensi
basyariahnya. Pembinaan kesempurnaan basyariah bukan menjadi bidang garapan
tasawuf, tetapi menjadi garapan fikih. Dengan perpaduan fikih dan tasawuf
inilah insan kamil akan lebih terbina lagi. Namun insan kamil lebih ditekankan
pada manusia yang sempurna dari segi insaniyahnya, atau segi potensi intelektual,
rohaniah dan lainnya itu.
Insan Kamil juga
berarti manusia yang sehat dan terbina potensi rohaniahnya sehingga dapat
berfungsi secara optimal dan dapat berhubungan dengan Allah dan dengan makhluk
lainnya secara benar menurut akhlak Islami. Manusia yang selamat rohaniah
itulah yang diharapkan dari manusia Insan Kamil Manusia yang demikian inilah
yang akan selamat hidupnya di dunia dan akhirat. Ciri-ciri manusia yang
berinsan kamil:
a.
Berfungsi
Akalnya Secara Optimal
Fungsi akal secara
optimal dapat dijumpai pada pendapat kaum Muktazilah. Menurutnya manusia yang
akalnya berfungsi secara optimal dapat mengetahui bahwa segala perbuatan baik
seperti adil, jujur, berakhlak sesuai dengan essensinya dan merasa wajib
melakukan semua itu walaupun tidak diperintahkan oleh wahyu. Manusia yang
berfungsi akalnya sudah merasa wajib melakukan perbuatan yang baik. Dan manusia
yang demikianlah yang dapat mendekati tingkat insan kamil. Dengan demikian
insan kamil akalnya dapat mengenali perbuatan yang baik dan perbuatan buruk
karena hal itu telah terkandung pada essensi perbuatan tersebut[7].
b.
Berfungsi
Intuisinya
Insan Kamil dapat
juga dicirikan dengan berfungsinya intuisi yang ada dalam dirinya. Intuisi ini
dalam pandangan Ibn Sina disebut jiwa manusia (rasional soul). Menurutnya jika
yang berpengaruh dalam diri manusia adalah jiwa manusianya, maka orang itu
hampir menyerupai malaikat dan mendekati kesempurnaan[8].
c.
Mampu
Menciptakan Budaya
Sebagai bentuk
pengamalan dari berbagai potensi yang terdapat pada dirinya sebagai insan,
manusia yang sempurna adalah manusia yang mampu mendayagunakan seluruh potensi
rohaniahnya secara optimal. Menurut Ibn Khaldun manusia adalah makhluk
berpikir. Sifat-sifat semacam ini tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Lewat
kemampuan berpikirnya itu, manusia tidak hanya membuat kehidupannya, tetapi
juga menaruh perhatian terhadap berbagai cara guna memperoleh makna hidup.
Proses-proses semacam ini melahirkan peradaban.
Tetapi dalam kaca
mata Ibn Khaldun kelengkapan serta kesempurnaan manusia tidaklah lahir dengan
begitu saja, melainkan melalui suatu proses tertentu. Proses tersebut dewasa
ini dikenal dengan evolusi.
d.
Menghiasi
Diri dengan Sifat-sifat Ketuhanan
Pada uraian tentang
arti insan tersebut di atas telah disebutkan bahwa manusia termasuk makhluk
yang mempunyai naluri ketuhanan (fitrah). la cenderung kepada hal-hal yang
berasal dari Tuhan, dan mengimaninya. Sifat-sifat tersebut menyebabkan ia
menjadi wakil Tuhan di muka bumi. Manusia sebagai khalifah yang demikian itu
merupakan gambaran ideal. Yaitu manusia yang berusaha menentukan nasibnya
sendiri, baik sebagai kelompok masyarakat maupun sebagai individu. Yaitu
manusia yang memiliki tanggung jawab yang besar, karena memiliki daya kehendak
yang bebas. Manusia yang ideal itulah yang disebut insan kamil, yaitu manusia
yang dengan sifat-sifat ketuhanan yang ada pada dirinya dapat mengendalikan
sifat-sifat rendah yang lain. Sebagai khalifah Allah di muka bumi ia
melaksanakan amanat Tuhan dengan melaksanakan perintah-Nya.
e.
Berakhlak
Mulia
Sejalan dengan ciri
keempat di atas, insan kamil juga adalah manusia yang berakhlak mulia. Hal ini
sejalan dengan pendapat Ali Syari'ati yang mengatakan bahwa manusia yang sempurna
memiliki tiga aspek, yakni aspek kebenaran, kebajikan dan keindahan. Dengan
kata lain ia memiliki pengetahuan, etika dan seni. Semua ini dapat dicapai
dengan kesadaran, kemerdekaan dan kreativitas. Manusia yang ideal (sempurna)
adalah manusia yang memiliki otak yang briliyan sekaligus memiliki kelembutan
hati. Insan kamil dengan kemampuan otaknya mampu menciptakan peradaban yang
tinggi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, juga memiliki kedalaman
perasaan terhadap segala sesuatu yang menyebabkan penderitaan, kemiskinan,
kebodohan dan kelemahan[9].
f.
Berjiwa
Seimbang
Menurut Nashr,
bahwa manusia modern sekarang ini tidak jauh meleset dari siratan Darwin. Bahwa
hakikat manusia terletak pada aspek kedalamannya, yang bersifat permanen,
immortal yang kini tengah bereksistensi sebagai bagian dari perjalanan hidupnya
yang teramat panjang. Tetapi disayangkan, kebanyakan dari mereka lupa akan
immortalitas dirinya yang hakiki tadi. Manusia modern mengabaikan kebutuhannya
yang paling mendasar, yang bersifat ruhiyah, sehingga mereka tidak akan
mendapatkan ketenteraman batin, yang berarti tidak hanya keseimbangan diri,
terlebih lagi bila tekanannya pada kebutuhan materi kian meningkat, maka
keseimbangan akan semakin rusak.
Kutipan tersebut mengisyaratkan tentang perlunya sikap seimbang dalam kehidupan, yaitu seimbang antara pemenuhan kebutuhan material dengan spiritual atau ruhiyah. Ini berarti perlunya ditanamkan jiwa sufistik yang dibarengi dengan pengamalan syariat Islam, terutama ibadah, zikir, tafakkur, muhasabbah, dan seterusnya.
Kutipan tersebut mengisyaratkan tentang perlunya sikap seimbang dalam kehidupan, yaitu seimbang antara pemenuhan kebutuhan material dengan spiritual atau ruhiyah. Ini berarti perlunya ditanamkan jiwa sufistik yang dibarengi dengan pengamalan syariat Islam, terutama ibadah, zikir, tafakkur, muhasabbah, dan seterusnya.
2.
Tokoh
Pembawa Ajaran Insan Kamil
a.
Al-Jili
(1365-1417)
Nama lengkapnya
adalah Abdul Karim bin Ibrahim Al-Jili. Ia lahir pada tahun 1365 M. di Jilan
(Gilan), sebuah provinsi di sebelah selatan Kaspia dan wafat pada tahun 1417 M.
Nama Al-jili diambil dari tempat kelahirannya di Gilan. Ia adalah seorang sufi
yang terkenal dari Bagdad. Riwayat hidupnya tidak banyak diketahui oleh para
ahli sejarah, tetapi sebuah sumber mengatakan bahwa ia pernah melakukan
perjalanan ke India tahun 1387 M. kemudian belajar tasawuf di bawah bimbingan
Abdul Qadir Al-Jailani, seorang pendiri dan pemimpin tarekat Qadiriyah yang
sangat terkenal. Di samping itu, berguru pula pada Syeh Syarafuddin Isma’il bin
Ibrahim Al-Jabarti di Zabid (Yaman) pada tahun 1393-1403 M.
b.
Ajaran
Tasawuf Al-Jili
1) Insan Kamil
Ajaran tasawuf Al-Jili yang terpenting adalah faham
Insan Kamil (manusia sempurna). Menurut Al-jili, insan kamil adalah nuskhah atau
copy Tuhan, Al-jili memperkuatnya dengan hadits; “Allah menciptakan adam
dalam bentuk yang Maharahman.” Hadits lainnya; “Allah menciptakan Adam dalam
bentuk diri-Nya.”
Sebagaimana diketahui, Tuhan memiliki sifat-sifat
seperti hidup, pandai, mampu berkehendak, mendengar, dan sebagainya. Manusia
(adam) pun memiliki sifat-sifat seperti itu. Proses yang terjadi setelah ini
adalah setelah Tuhan menciptakan subtansi, Huwiyah Tuhan dihadapkan dengan
Huwiyah Adam, dan Dzat-Nya dihadapkan pada dzat Adam, dan akhirnya Adam
berhadapan dengan Tuhan dalam segala hakikat-Nya. Melaui konsep ini, kita
memahami bahwa Adam dilihat dari sisi penciptaannya merupakan salah seorang
insan kamil dengan segala kesempurnaannya. Sebab, pada dirinya terdapat sifat
dan nama Ilahiah. Al-Jili berpendapat bahwa nama-nama dan sifat-sifat Ilahiah
itu pada dasarnya merupakan milik insan kamil sebagai suatu kemestian yang
inheren dengan esensinya. Sebab,
sifat-sifat dan nama-nama tersebut tidak memiliki tempat berwujud, melainkan
kepada insan kamil.
Labih lanjut,
Al-Jili mengemukakan bahwa perumpamaan hubungan Tuhan dengan insan kamil adalah
bagaikan cermin di mana seseorang tidak akan dapat melihat bentuk dirinya
kecuali melihat cermin itu. begitu pula halnya dengan insan kamil, sebagaimana
Tuhan tidak dapat melihat dirinya, kecuali dengan cermin nama Tuhan,
sebagaimana Tuhan tidak dapat melihat diri-Nya, kecuali melalui cermin insan
kamil. Inilah maksud ayat: “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada
langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu
dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh
manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh.” (Q.S Al-Ahzab:
33). Al-jili berkata bahwa duplikasi Al-kamal (kesempurnaan) dimiliki oleh
manusia, bagaikan cermin yang saling berhadapan. Ketidaksempurnaan manusia
disebabkan oleh hal-hal yang bersifat ‘aradhi, termasuk bayi yang berada dalam
kandungan ibunya. Al-Kamal dalam konsep Al-Jili mungkin dimiliki oleh manusia
secara professional (bi al-quwah) dan mungkin pula secara aktual (bi al-fiil)
seperti yang terdapat dalam wali-wali dan nabi-nabi meskipun dalam intensitas
yang berbeda. Intensitas Al-Kalam yang paling tinggi terdapat dalam diri Nabi
Muhammad SAW sehingga manusia lain, baik nabi-nabi ataupun wali-wali, bila
dibandingkan dengan Muhammad bagaikan al-kamil (yang sempurna) dengan al-kamal
(yang paling sempurna) atau al-fadhil (yang utama) dengan al-afdhal (yang
paling utama).
Insan kamil menurut
konsep Al-Jali ialah perencanaan dzat Allah(nuktah Al-Haqq) melalui proses
empat tajalli seperti tersebut di atas sekaligus sebagai proses maujudat yang
terhimpun dalam diri Muhamad SAW.
Menurut Arberry,
konsep insan kamil Al-Jili dekat dengan konsep hulul Al-Hallaj dan konsep
ittihad Ibn Arabi, yaitu integrirasi sifat lahut dan nasut dalam
suatu pribadi sebagai pancaran dari Nur Muhammad. Adapun Ibn Arabi mentransfer
konsep hulul Al-Hallaj dalam paham ittihad, ketika menggambarkan insan kamil
sebagai wali-wali Allah, yaitu diliputi oleh Nur Muhammad SAW.
2) Maqamat (al-Martabah)
Al-Jili dengan
filsafat insan kamilnya, merumuskan beberapa maqam yang harus dilalui seorang
sufi, yang menurut istilahnya ia sebut al-martabah (jenjang atau tingkat).
Tingkat-tingkat itu adalah:
Pertama, Islam yang didasarkan pada lima pokok atau rukun
dalam pemahaman kaum sufi tidak hanya dilakukan ritual saja, tetapi harus
dipahami dan dirasakan lebih dalam.
Kedua, iman yakni membenarkan dengan sepenuh keyakinan akan rukun
iman, dan melaksanakan dasar-dasar Islam. Iman merupakan tangga pertama
mengungkap tabir alam gaib, dan alat yang membantu seseorang mencapai tingkat
atau maqam yang lebih tinggi.
Ketiga, ash-shalah, yakni dengan maqam ini seorang sufi
mencapai tingkat ibadah yang terus-menerus kepada Allah dengan penuh perasaan
khauf dan raja’. Tujuan ibadah maqam ini adalah mencapai nuqtah Ilahiah pada
lubuk hati sang hamba, sehingga ketika mencapai kasyaf, ia akan memtaati
syariat Tuhan dengan baik.
Keempat, ihsan, yakni dengan maqam ini menunjukan bahwa
seorang sufi telah mencapai tingkat menyaksikan efek(atsar) nama dan sifat
Tuhan, sehingga dalam ibadahnya, ia merasa seakan-akan berada dihadapan-Nya.
Persyaratan yang harus ditempuh pada maqam ini adalah sikap istiqamah dalam
tobat, inabah, zuhud, tawakal, tafwidh, rida, dan ikhlas.
Kelima, syahadah, seorang sufi dalam maqam ini telah
mencapai iradah yang bercirikan; mahabbah kepada Tuhan tanpa pamrih,
mengingat-Nya secara terus-menerus, dan meninggalkan hal-hal yang menjadi
keinginan pribadi. Syahadah terbagi kedalam dua tingkatan, yaitu mencapai
mahabbah kepada Tuhan tanpa pamrih. Ini adalah tingkat yang paling rendah, dan
menyaksikan Tuhan pada semua makhluk-Nya secar ‘ainul yaqin. Ini adalah yang
paling tinggi.
Keenam, shiddiqiyah, Istilah ini mengagambarkan tingkat
pencapaian hakikat yang makrifat yang diperoleh secara bertahap dari ilmu
al-yaqin, ain al-yaqin, sampai haqul yakin. Menurut Al-Jili seorang sufi yang
telah mencapai derajat shiddik akan menyaksikan hal-hal yang ghaib, kemudian melihat
rahasia-rahasia Tuhan sehingga mengetahui hakikat diri-Nya.
Ketujuh, qurbah. Maqam ini merupakan maqam yang memungkinkan
seorang dapat menampakan diri dalam sifat dan nama yang mendekati sifat dan
nama Tuhan.
Demikianlah,
maqam-maqam yang dirumuskan Al-Jili dalam upaya dekat kepada Tuhan. Namun, satu
hal yang kita ketahui bahwa Al-Jili mengatakan, “Mengetahui dzat yang Maha Tinggi
itu secara kasyaf Ilahi, yaitu kamu dihadapan-Nya dan Dia dihapanmu tanpa hulul
dan ittihad. Sebab hamba adalah hamba dan Tuhan adalah Tuhan. Oleh karena itu,
tidaklah mungkin hamba menjadi Tuhan atau sebaliknya.
DAFTAR
PUSTAKA
Harun Nasution, 1979. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid
II, Jakarta: UI Press.
Abudin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, Rajawali
Press.
Hamka, 1984. Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta:
PT. Pustaka Panjimas.
‘Abd Al Karim Bin Ibrahim Al-Jil, Al-Insan Al-Kamil fi Ma’rifah Al-
Awakhir Wa Al- Awail, (Kairo:Dar Al-Fikr, tt.).
H.M. Jamil, 2007.Cakrawala Tasawuf, Jakarta: Gaung Persada
Pers.
[1]
Mahmud yunus,Kamus arab indonesia (jakarta:hidakarya Agung, 1990),hlm.492 dan
494.
[2]
Jamil Saliba almu’jam al- falsafi, juz II(baerut dar alkitab 1979),hlm 549.
[3]
Keterangan- keterangan diatas dapat dirujuk dalam buku syekh Abdur Rahman Abdul
Khalik,ibid.,h.59-70 dan Muhammad Al- Abduh dan Thariq Abdul Halim, op.cip.,
h.107.
[4] Lihat Mahmud Yunus Kamus
Arab Indonesia (Jakarta: Hidakarya 1990),hlm.51&387.
[5]
Ibid.,hlm.158.
[6]
Ibid., hlm.243.
[7]
Azyumardi Azra, Antara kebebasan dan keterpaksaan Manusia:Demikian Islam
tentang perbuatan manusia,dalam dawam rahardjo(ed.),insan kamil Konsepsi
manusia menurut Islam,(Jakarta: grafiti Pers,1987),cet.II,hlm.43.
[8]
Iqbal Abdur Rauf Saimima, sekitar filsafat Jiwa dan manusia dari Ibnu Sina,
dalam Dawam Rahardjo(ed.),ibid.,hlm.65.Lihaty pula Harun Nasution, filsafat dan
mistisme dalam Islam.(Jakarta: Bulan Bintang,1983.
[9]
Ibid .,hlm 176
Tidak ada komentar:
Posting Komentar